Bukan yang tanpa tujuan, hanya saja belum waktunya Tuhan mengabulkan. Aku menjadi salah satu yang percaya keajaiban. Sebab Tuhan menjanjikan impian yang akan jadi kenyataan.
Hampa kerap mengutarakan perasaannya, yang ingin berteman dengan kebahagiaan.
Dan cinta bersandingan dengan kerinduan yang dipendam entah sampai kapan. Aku merasakan kesepian yang berbaur pada keramaian. Ada yang diam-diam menghancurkan.
Meluruhkan airmata karna kesakitan luar biasa. Aku jatuh cinta dengan seseorang yang memperkenalkan aku pada kesederhanaan. Sayangnya, kebenaran belum merestui cinta yang tersemat menjadi sebuah ikatan. Belum menggemakan perjanjian di bawah rembulan.
Hanya ada aku yang mencintaimu sendirian. Aku resah melihat tanganmu menggenggam gundah, aku marah mendengar tawamu menghangatkan gelisah yang bukan untuk menenangkan aku. Aku lelah menunggumu untuk melihat airmataku yang nyaris pecah dan mendengar jeritanku yang menyembunyikan kekecewaan.
Mana mungkin perempuan duluan yang mengungkapkan perasaan. Bagaimana mungkin perempuan menjadi yang pertama mengikrarkan?
Seharusnya kaum adam paham tentang aturan. Semestinya perempuan yang mengiyakan, bukan kah jauh lebih sopan?
Kapan cinta bukan lagi sebuah penantian?
Merapatkan diri saling merekatkan jemari. Kapan cinta bukan lagi yang menceritakan harapan? Hanya sekedar bualan yang menjadikan pelabuhan sebagai tempat persinggahan.
Dengan rayuan begitu saja lalu ditinggalkan seenaknya.
Apa mungkin kita tidak untuk ditakdirkan dalam satu genggaman?
Beritahu aku tentang penjelasan Tuhan, bahwa kamu akan segera memberi kepastian.
Meyakinkan aku tentang perlakuan yang akan menjadi sederet senyuman. Atau mungkin melupakanmu akan menjadi pilihan, jelaskan apa yang mesti ku lakukan. Menunggumu mengutarakan perasaan, atau perlu kah aku mempertahankan rindu yang tak terbalaskan?
0 komentar
Posting Komentar