Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan
pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV.
Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya
berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada
pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya
yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang
bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat
semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo,
mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan
ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan
kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun
pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun
kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng
Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan
Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor
perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta
sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak
kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian
Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi
ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan
rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur
Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar
Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa
peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan
pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan
menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya
berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu
dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil tainnya,
para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian
lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa
para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan
perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu.
Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga
terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk
ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam,
kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000
orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar
Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan
perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu.
Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal
pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti
kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan
kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang
Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut
berpindah ke Makassar.
Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya
merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan
menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di
Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur
dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram
dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu
bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan
perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan¬-kerajaan Banten
dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di
Timur Tengah.
Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul
Ma’mur Khatib Tunggal atau Dato’ Ri Bandang yang berasal dari
Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada
bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV
I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah
1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG
MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja
ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan.
Pada tanggal 9
Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at
pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan
Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula,
diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal
inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar
sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada
tanggal 1 April.
Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan
perdagangan internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang
kosmopolitan itu menyebabkan sebuah “creative renaissance” yang
menjadikan Bandar Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan
pada zamannya. Koleksi buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih
langkah di Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu
perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak segan-segan
memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh pelosok bumi,
termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang dipesan
secara khusus dari Eropa.
Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memper-luas
wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang
Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang
pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari
Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di
seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat
merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.
Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu
merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi
wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian
membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan
sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga
komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.
Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar
Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di
sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir
utara kota lama itu pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat
pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan
‘kota baru’ yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan
‘Vlaardingen’. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya
Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang,
seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad
ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 5.000 jiwa, setengah di
antaranya sebagai budak.
Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang terlupakan. “Jan
Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu
menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih
terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan
asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer
yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, ‘Kota Kompeni’ itu hanya
berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan
rempah-rempah tanpa hinterland – bentuknya pun bukan ‘bentuk kota’,
tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di pesisir pantai sekeliling
Fort Rotterdam.
Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini
adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada kapal¬kapal VOC yang
menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad
ke-18, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi
yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa
hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang
burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan
persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan
VOC.
Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera,
dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar
daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri.
Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk
kota dan kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan
Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang,
komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi
seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan, sejak
pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara
Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka
puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih
merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau
dalam wilayah Kota Makassar.
Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni
perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan
kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846.
Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang
pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater
menjadi kembali suatu bandar internasional.
Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah
penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad
ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki “kota kecil
terindah di seluruh Hindia-Belanda” (Joseph Conrad, seorang penulis
Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port of call utama
bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan
hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu
pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah
independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan
kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian
di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama
yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya
berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu
meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua
penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar
tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan
dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di
tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan
kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi
mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada
tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir
tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat
asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari
daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan
akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai
tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa
menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru
dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota
menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama
berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada
tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar,
tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999
Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai
Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4
mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha.
Jumat, 20 September 2013
4 komentar
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
:D